Problematika Hadits Sebagai Dasar Tasyri'
Untuk Postingan kali ini saya akan berbagi tentang makalah individu mata kuliah Ilmu Hadits yang diampu oleh dosen saya yang bernama Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad., M.Si.
Materi Ilmu Hadits ini berfokus pada bahasan judulnya yaitu mengenai "Problematika Hadits Sebagai Dasar Tasyri'"
Materi Ilmu Hadits ini berfokus pada bahasan judulnya yaitu mengenai "Problematika Hadits Sebagai Dasar Tasyri'"
Berikut materinya dari Bab 1 - Bab 3 saya bagikan kepada teman-teman semua:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ditelusuri dari sejarah, ternyata di samping adanya kesepakatan dari
umat Islam untuk menerima Hadits sebagai dasar Tasyri’, namun terdapat pula
pandangan problematik tentang Hadits. Bahkan ada sejumlah kecil yang menolak
Hadits sebagai dasar Syari’at Islam yang kedua setelah al-Qur’an.
Pandangan-pandangan ini ada yang datang dari intern umat Islam, dan ada
juga yang datang dari lingkungan ekstern umat Islam yang kadangkala juga
pandangannya diikuti oleh lingkungan intern.
Pada abad II Hijriyah, muncul faham yang menyimpang dari garis khiththah yang telah dilalui oleh
shahabat dan tabi’in, yakni ada yang tidak mau menerima Hadits sebagai hujjah
dalam menetapkan hukum, atau bila tidak dibantu oleh al-Qur’an, dan ada pula
yang tidak menerima Hadits Ahad. Dalam pada itu, terdapat perbedaan faham dalam
hal keadilan shahabat, hukum menulis hadits, keberadaan pemalsuan Hadits dan
lainlain.
Problematika tersebut dibahas secara seksama oleh pada ulama dari
berbagai keahlian; Tafsir, Hadits, ilmu kalam, Fiqh dan Tasawuf, terutama
menggunakan dalil yang jelas dari al-Qur’an dan hadits, logika yang kuat dan
fakta-fakta historis yang kuat sejak zaman nabi saw.
Oleh karena itu, Problematika Hadits yang sudah terjadi ini bisa kita
ketahui dari mulai permasalahan Pemalsuan Hadits, Inkara Sunah, dan juga Kritik
Orientalis yang masuk ke dalam cakupan Problematika Hadits ini sendiri.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan problematika hadits sebagai dasar tasyri’ ?
2. Bagaimanakah sebab sampai
terjadinya pemalsuan hadits ?
3. Bagaimana
penjelasan mengenai Inkara Sunah ?
4. Apa maksud
dari Kritik Orientalis itu?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
apa yang dimaksud problematika hadits sebagai dasar tasyri’
2. Mengetahui sebab sampai terjadinya pemalsuan
hadits
3. Mengetahui
penjelasan mengenai Inkara Sunah
4. Mengetahui
maksud dari Kritik Orientalis itu
BAB
II
PEMBAHASAN
Problematika Hadits sebagai dasar Tasyri’
·
Hadits Sebagai Dasar Tasyri’
Yang dimaksud dengan tasyri’
adalah menetapkan ketentuan syari’at islam atau hukum Islam. Hukum Islam adalah
firman syari’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung
tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang
lain.
Pengertian hukum Islam menurut Ushul Fiqh
ialah firman (nash) dari pembuat syara’ baik firman Allah maupun Hadits Nabi
SAW.
Syari’at adalah hukum yang ditetapkan Allah
SWT. untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasulullah SAW. supaya para hamba melaksanakan
dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliah lahiriah, maupun yang mengenai
akhlak dan aqidah yang bersifat batiniah.
Syari’at Islam dalam arti luas meliputi
segala yang berhubungan dengan aqidah, akhlaq, ibadah dan muamalah.
Hukum Islam meliputi: Hukum Taklifi dan Hukum
Wadh’i.
Hukum Taklifi adalah hukum-hukum yang
mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan atau keizinan, yakni:
1. Ijab
(Wajib), yaitu firman Allah yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan
yang pasti, dicela meninggalkannya.
2. Nadh
(Anjuran), yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang
pasti, tidak dicela meninggalkannya.
3. Tahrim
(Larangan), yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan
tuntutan pasti, dicela mengerjakannya.
4. Karahah,
yaitu firman yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
tidak pasti, tidak dicela mengerjakannya.
5. Ibahah (Kebolehan), yaitu firman yang
membolehkan Sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.
Hukum Wadh’i ialah hukum yang dijadikan sebab
atau syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-hukum yang dijadikan
sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan itu, seperti sah atau batal, rukhsah dan
‘azimah. Umpamanya membunuh adalah sebab bagi hukuman qishah, karena membunuh
itu menjadi sebab untukmendapatkan hukuman qishah. Dapat menyerahkan sesuatu
untuk dijual itu menjadi syarat sah akad jual beli. Kegiatan jual beli orang
gila adalah batal. Apabila timbul darurat, sebagai rukhshah, maka yang asalnya
tidak boleh menjadi boleh. Sedangkan ‘azimah, adalah hukum yang ditetapkan yang
harus dijelaskan dalam keadaan biasa, normal, bukan untuk meringankan.
Dasar
syari’at dan hukum Islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan
perundang-undangan Islam adalah al-Qur’an, al-sunah, dan Ijtihad.
Al-Qur’an
sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan Hadits dasar kedua, dengan kata
lain ada rutbah atau urutan derajat, al-Qur’an lebih tinggi rutbah derajatnya
dari Hadits.
A.
Pemalsuan Hadits
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis
~
Hadis pada Masa Tabiin
-
Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan
ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya Perang Jamal dan
Perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan
tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam
ke dalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas
yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak, dari pergolakan
politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis
berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya
hadis-hadis palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya
masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat
positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya
kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan
pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
~ Pandangan Problematik tentang Hadits
Tentang pemalsuan
Hadits, memang merupakan suatu kenyataan, namun telah dianalisis siapa
sebenarnya pelakunya, dan telah diadakan penanggulangan oleh para ulama dan
kaum muslimin pada umumnya.
Adapun ikhtilaf
tentang penerima hadits dan atau Hadits Ahad sebagai dasar Tasyri’ dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Jumhur ulama
berpendapat bahwa hadits Ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan landasan
amal walaupun bersifat zhan.
2. Ahmad, al-Mahasibi,
al-Karabisi, Abu Sulaiman dan Malik berpendapat bahwa Hadits Ahad bisa qath’I
dan wajib diamalkan.
3. Kaum Rafidhah, al-Qasimi, Ibn Dawud dan sebagian kaum Mu’tazilah
mengingkari Hadits Ahad sebagai hujjah.
Alasan penolakan Hadits Ahad sebagai hujjah
adalah sebagai berikut:
1. Hadits Ahad itu bersifat zhan bisa mengandung kesalahan, maka tidak
dapat digunakan sebagai hujjah.
Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Janganlah kamu
mengikuti apa-apa yang engkau tidak ketahui” (QS. al-Isra: 36)
وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئً
“Sesungguhnya zhan
(dugaan) sedikitpun tidak menguatkan haq” (Q.S. al-Najm: 28)
2. Karena telah sepakat
bahwa Hadits ahad tidak dapat dijadikan landasan di bidang Ushul dan Aqidah,
maka tentunya begitu pula untuk bidang furu’.
3. Sikap nabi saw yang
tidak segera merespon terhadap informasi Dzu al-Yaddin bahwa Nabi menyudahi
shalat ‘Isya dua raka’at. Baru setelah Abu Bakar dan ‘Umar membenarkan ucapan
Dzu al-Yaddin, Nabi SAW menyempurnakan shalat dan melakukan sujud sahwi.
4. Shahabat menolak
pemberitaan seseorang, seperti Abu Bakar menolak informasi Mughirah tentang
warisan nenek dari cucu, ‘umar menolak riwayat Abu musa tentang isti’dzan dan
‘Aisyah menolak khabar ibn ‘Umar tentang disiksanya mayat karena tangisan
keluarganya.
Jawaban dan penjelasan
dari ulama yang menerima Hadits Ahad sebagai hujjah sebagai berikut:
1. Hadits Ahad walaupun
bersifat zhan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu’ dan menjadi
pegangan semenjak masa Nabi SAW dan shahabat, maka dengan ijma’nya bersifat
qath’i.
2. Qias soal ushul dan
furu’ kurang tepat. Zhan untuk masalah furu’ bisa diterima mengingat kasus
fatwa dan kesaksian.
3. Nabi SAW menangguhkan
penyempurnaan shalat ‘isya karena ragu, setelah Abu Bakar dan ‘Umar
memberitahu, baru Nabi SAW berbuat. Hal ini tidak berarti menggugurkan
informasi Dzu al-Yaddin.
4. Kasus tersebut bukan
berarti Abu Bakar dan Aisyah menolak berita perorangan, namun untuk ihtiyah dan
mencari landasan yang lebih kokoh.
Al-Qur’an tidak memuat
segala persoalan secara detail, banyak ketetapan yang memerlukan penjelasan dan
interpretasi dari berbagai aspek, baik dalam hal ‘ubudiyah maupun dalam hal
mu’amalah, dan yang bertugas pertama untuk memberi penjelasan tersebut adalah
Rasulullah saw. Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
”Dan apa-apa yang
didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa-apa yang dilarang maka
tinggalkanlah” (Q.S. al-Hasyr: 7).
Karena diperintahkan
mengikuti Rasul, maka segala penjelasan Rasulullah SAW wajib kita ikuti. Di
dalam kenyataan kita dapati sejumlah hukum yang ditetapkan hadis, seperti orang
kafir tidak boleh mengambil pusaka dari orang Islam, dan anak yang membunuh
orang tuanya tidak diberi pusaka dari harta orang tuanya itu. Jika kita menolak
Hadits secara keseluruhan, niscaya kita tidak tahu cara mengerjakan shalat,
mengeluarkan zakat, menunaikan haji dan lain-lain, karena al-Qur’an hanya
menyuruh kita shalat, zakat, dan haji, tanpa menerangkan tata cara
pelaksanaannya.
Kenyataan sejarah
menunjukkan, bahwa para shahabat dan tabi’in menerima Hadits Ahad dan
mengamalkannya dan banyak hukum disandarkan kepada Hadits-hadits Ahad. Jika
pada suatu ketika ada shahabat tidak menerima pemberitaan perorangan, hal itu
adalah karena ada sesuatu sebab tertentu.
B.
Inkar As-Sunnah
·
Pengertian
Ingkar As-Sunnah
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik
sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam
menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian
maupun keseluruhannya.
Penyebutan ingkar as-sunnah tidak semata-mata berarti penolakan total
terhadap sunnah. Penolakan terhadap sebagian sunnah pun termasuk dalam kategori
ingkar as-sunnah, termasuk di dalamnya penolakan yang berawal dari sebuah
konsep berpikir yang janggal atau metodologi khusus yang diciptakan sendiri
oleh segolongan orang, baik masa lalu maupun sekarang, sedangkan konsep
tersebut tidak dikenal dan diakui oleh ulama hadis dan fiqh.
Ada tiga
jenis kelompok ingkar as-sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadis-hadis
Rasulullah SAW. secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis
yang tak disebutkan dalam Al-Qur’an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga,
kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak
orang setiap jenejang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak
hadis-hadis Ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun sahih. Mereka
beralasan dengan ayat,
وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئً
...
sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran. (Q.S.
An-Najm [53] : 28)
Mereka
berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri.
·
Sejarah
Perkembangan Ingkar As-Sunnah
1. Ingkar As-Sunnah Klasik
Pada masa sahabat, seperti dituturkan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri (w. 110
H), ada sahabat yang kurang begitu memerhatikan kedudukan sunnah Nabi SAW.,
yaitu ketika sahabat Nabi SAW. ‘Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan
hadis. Tiba-tiba, ada seorang yang meminta agar ia tidak usah mengajarkan
hadis, tetapi cukup mengajarkan Al-Qur’an saja. Jawab ‘Imran, “Tahukah Anda,
seandainya Anda dan kawan-kawan Anda hanya memakai Al-Qur’an, apakah anda dapat
menemukan dalam Al-Qur’an bahwa shalat Dhuhur itu empat rakaat, shalat Ashar
empat rakaat, dan shalat Maghrib tiga rakaat? Apabila Anda hanya memakai
Al-Qur’an, dari mana Anda tahu bahwa tawaf (mengelilingi Kabah) dan sa’i antara
Shafa dan Marwa itu tujuh kali?”
Mendengar
jawaban itu, orang tersebut berkata, “Anda telah menyadarkan saya.
Mudah-mudahan, Allah selalu menyadarkan Anda.” Akhirnya, sebelum wafat, orang
itu menjadi ahli fiqh.
Karena itu, pada masa itu, tampaknya di Irak terdapat faktor-faktor yang menunjang
timbulnya paham ingkar as-sunnah. Dan itulah gejala-gejala ingkar as-sunnah
yang muncul di kalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua
Hijriah muncul pula kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber
syariat Islam, di samping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir
saja.
Khawarij dan
Sunnah
Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata
kharij, yang berarti ‘sesuatu yang keluar’. Sementara menurut pengertian
termonologis, khawarij adalah kelompok atau golongan yang keluar dan tidak
loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan Khawarij di sini
adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abu
Thalib r.a. Apakah Khawarij menolak Sunnah? Ada sebuah sumber yang menuturkan
bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum kejadian fitnah
(perang saudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a.) diterima
oleh kelompok Khawarij. Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat
dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak
suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian
fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi SAW. Sudah
keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat
sesudah kejadian itu ditolak kelompok Khawarij.
Ini adalah kesimpulan Mustafa As-Siba’i berdasarkan sumber-sumber yang
terdapat dalam kitab Al-Farq Baina Al-Firaq karya ‘Abd. Al-Qadir Al-Baghdadi
(w. 429 H). Sementara Muhammad Mustafa Azami berpendapat lain. Menurutnya,
“Kesimpulan As-Siba’i ini perlu ditinjau kembali. Masalahnya, kitab-kitab
produk mazhab Khawarij saat ini tidak dapat ditemukan lagi. Kitab-kitab mereka
telah punah bersamaan dengan punahnya madzhab Khawarij itu sendiri, kecuali
kelompok Ibadhiyah yang merupakan salah satu kelompok dari kelompok-kelompok
Khawarij yang jumlahnya mencapai dua puluh kelompok.
Dalam kitab-kitab produk kelompok
Ibadhiyah, terdapat keterangan bahwa mereka menerima hadis Nabawi. Mereka juga
meriwayatkan hadis-hadis yang berasal dari Ali bin Abu Thalib, ‘Aisyah istri
Nabi SAW., ‘Utsman bin ‘Affan, Abu Hurairah, Anas bin Malik r.a. dan lain-lain.
Karena itu tidak tepat jika dikatakan bahwa semua golongan Khawarij menolak
hadis.
Syi’ah dan
Sunnah
Kata Syi’ah berarti ‘para pengikut’ atau
‘para pendukung’. Sementara menurut pengertian terminologis, Syi’ah adalah
golongan yang menganggap bahwa ‘Ali bin Abu Thalib r.a. lebih utama daripada
pada Khalifah sebelumnya (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman), dan berpendapat bahwa
Ahl-Bait (keluarga Nabi SAW.) lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain.
Golongan Syi’ah ini terdiri dari berbagai
kelompok dan tiap-tiap kelompok menilai kelompok lain sudah keluar dari Islam.
Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna
‘asyariyah. Kelompok ini menerima hadis Nabawi sebagai salah satu sumber
syariat Islam. Hanya saja, ada perbedaan mendasar antara kelompok Syi’ah ini
dengan golongan Ahl As-Sunnah (golongan mayoritas umat Islam), yaitu dalam hal
penetapan hadis.
Golonagn Syi’ah menganggap bahwa
sepeninggal Nabi SAW., mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam),
kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap Muslim. Karena itu,
golongan Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para
sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl
Al-Bait saja.
Mu’tazilah
dan Sunnah
Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adalah “sesuatu yang mengasingkan
diri”. Sementara yang dimaksud di sini adalah golongan yang mengasingkan diri
dari mayoritas umat Islam karena mereka berpendapat bahwa seorang Muslim yang
fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir. Adapun golongan
Ahl As-Sunnah berpendapat bahwa orang Muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai
mukmin, meskipun ia berdosa. Pendapat Mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan
Al-Bashri, dan dipelopori oleh Washil bin ‘Ata (w. 131 H).
Ada juga pendapat yang menuturkan bahwa golongan
ini disebut Mu’tazilah karena, ketika Washil bin ‘Ata sedang berguru kepada
Al-Hasan Al-Bashri di masjid Bashrah, ada seorang yang bertanya tentang status
orang Muslim yang berbuat maksiat. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri menjawab
pertanyaan itu, Washil bin ‘Ata berkata, “Menurut saya, orang tersebut berada
di tempat antara dua tempat (manzilah baina manjilatain), bukan mukmin dan
bukan kafir.” Washil kemudian berdiri dan meninggalkan pengajian Al-Hasan
Al-Bashri. Ia pergi menuju suatu tiang di dalam masjid tersebut dan menerangkan
pendapatnya kepada orang-orang yang mengikutinya. Melihat kejadian itu,
Al-Hasan Al-Bashri berkomentar, “I’tazala ‘anna Washil” (Washil telah
memisahkan diri dari kita). Akhirnya, kelompok Washil ini disebut Mu’tazilah.
Ada sebagian ulama Mu’tazilah yang
tampaknya menolak Sunnah, yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sayjar, yang populer
dengan sebutan Al-Nadhdham (w. 221-223 H). Ia mengingkari kemukjizatan
Al-Qur’an dari segi segi susunan bahasanya, mengingkari mukjizat Nabi Muhammad
SAW., dan mengingkari hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti
untuk dijadikan sebagai sumber syariat Islam.
Apabila pendapat An-Nadhdham ini dapat
diartikan sebagai penolakan hadis, tampaknya hal itu hanya pendapat pribadinya
saja dan bukan merupakan pendapat resmi Mazhab Mu’tazilah. Alasannya, ada ulama
Mu’tazilah lain yang menerima hadis sebagai sumber syariat Islam, misalnya
Al-Hasan Al-Bashri dalam kitabnya Al-Mu’tamad. Bahkan, mayoritas ulama
Mu’tazilah, misalnya Abu Al-Hudzail Al-‘Allaf (w. 226 H) dan Muhammad bin ‘Abd
Al-Wahhab Al-Jubbba’i (w. 303 H), justru menilai bahwa Al-Nadhdham telah keluar
dari Islam.
Oleh karena itu, mazhab Mu’tazilah tidak
dapat disebut sebagai pengingkar sunnah. Sebaliknya, mereka menerima sunnah seperti
halnya mayoritas umat Islam, tetapi mungkin ada beberapa hadis yang mereka
kritik apabila hal itu berlawanan dengan pemikiran mazhab merka. Hal itu tidak
berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan.
Pembela
Sunnah
Pada masa
klasik, Imam As-Syafi’i telah memainkan perannya dalam menundukkan kelompok
pengingkar Sunnah. Seperti telah disebutkan, dalam kitabnya Al-Umm, beliau
menuturkan pendebatannya dengan orang yang menolak hadis. Setelah melalui
perdebatan yang panjang, rasional, dan ilmiah, pengingkar Sunnah tersebut
akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis. Oleh karena itu, Imam As-Syafi’i
kemudian diberi julukan sebagai Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah).
Begitulah paham Ingkar As-Sunnah pada masa
klasik. Ia muncul pada masa sahabat, kemudian berkembang pada abad II H, dan
akhirnya lenyap dari peredaran pada akhir abad III H. Dan baru pada abad XIV H,
paham itu muncul kembali ke permukaan sebagai akibat adanya kolonialisme yang
melanda umat Islam.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat
tentang Ingkar As-Sunnah klasik, yaitu bahwa Ingkar As-Sunnah klasik kebanyakan
masih masih merupakan pendapat perseorangan dan hal itu muncul akibat
ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan Sunnah dalam Islam. Karena
itu, setelah diberi tahu tentang urgensi Sunnah, mereka akhirnya menerimanya.
Sementara lokasi Ingkar As-Sunnah klasik umumnya berada di Irak, khususnya
Bashrah.
2. Ingkar As-Sunnah Masa Kini
Sejak
abad ketiga sampai abad keempat belas Hijriah, tidak ada catatan sejarah yang
menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk
menolak Sunnah sebagai salah satu sumber syariat Islam, baik secara
perseorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak Sunnah yang muncul pada
abad I H (Ingkar As-Sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad
III H.
Pada abad keempat belas Hijriah, pemikiran seperti ini muncul kembali ke
permukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari Ingkar
As-Sunnah klasik. Apabila Ingkar As-Sunnah klasik muncul di Bashrah, Irak
akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah,
Ingkar As-Sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran
kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.
Apabila Ingkar As-Sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan tidak
menanamkan dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu, Ingkar As-Sunnah modern
banyak yang bersifat kelompok yang terorganisasi, dan tokoh-tokohnya banyak
yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu.
Apabila para
pengingkar Sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka
menyadari kekeliruannya, para pengingkar Sunnah pada masa modern banyak yang
bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi
Sunnah dalam Islam. Bahkan, di antara mereka, ada yang tetap menyebarkan
pemikirannya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan
larangan resmi terhadap aliran tersebut.
Kapankah aliran Ingkar As-Sunnah modern itu lahir? Muhammad Mustafa Azami
menuturkan bahwa Ingkar As-Sunnah modern lahir di Kairo Mesir pada masa Syeikh
Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M). Dengan kata lain, Syeikh Muhammad
Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan Ingkar As-Sunnah pada
masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi catatan, apabila kesimpulan Abu
Rayyah dalam kitabnya Adhwa ‘ala As-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar.
Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dalam ‘menolak’ Sunnah ini diikuti oleh
Taufiq Shidqi, yang menulis dua buah artikel dalam majalah Al-Manar nomor 7 dan
12 tahun IX dengan judul “Islam adalah Al-Qur’an itu sendiri”. Sambil mengutip
ayat-ayat Al-Qur’an, Taufiq Shidqi mengatakan bahwa Islam tidak memerlukan
Sunnah.
Pendapat Taufiq Shidqi ini ditanggapi positif oleh Sayyid Rasyid Ridha,
antara lain dengan mengatakan, “Dalam masalah ini ada suatu hal yang perlu
dikaji ulang, yaitu apakah hadis yang mereka sebut sebagai Sunnah Qauliyah itu
merupakan agama dan syariat yang bersifat umum, meskipun hal itu tidak
merupakan aturan-aturan yang harus dikerjakan, khususnya pada masa-masa awal?
Apabila kita menjawab, “Ya”, ada pertanyaan besar yang perlu kita jawab, yaitu
mengapa Nabi SAW. Justru melarang penulisan apa pun selain Al-Qur’an? Begitu
pula, para sahabat, mengapa mereka tidak menulis hadis, bahkan para ulama dari
kalangan mereka seperti para Khalifah juga tidak terpanggil untuk memperhatikan
dan melestarikan hadis?
Sayyid Rasyid Ridha tampaknya sangat
mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan, ia berpendapat bahwa hadis-hadis
yang sampai kepada kita dengan riwayat mutawatir, seperti junlah rakaat,
shalat, puasa, dan lain-lain, harus diterima dan hal itu disebut aturan agama
secara umum. Akan tetapi, hadis-hadis yang periwayatannya tidak mutawatir
disebut aturan agama secara khuus di mana kita tidak wajib menerimanya.
Begitulah pendapat dan pemikiran Sayyid Rasyid Ridha tentang hadis. Namun
demikian, belakangan ia mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai
pembela hadis. As-Siba’i menuturkan, “Pada awalnya Sayyid Rasyid Ridha
terpengaruh dengan pemikiran gurunya, Syeikh Muhammad Abduh. Sama seperti
gurunya, ia pun sedikit perbendaharaannnya dalam masalah hadis dan tidak banyak
mengetahui ilmu-ilmu hadis. Namun, sesudah Syeikh Muhammad Abduh wafat dan
Sayyid Rasyid Ridha menerima tongkat estafet pembaharuan, ia banyak mendalami
ilmu-ilmu fiqh, hadis, dan lain-lain, sehingga ia menjadi tempat bertanya umat
Islam seluruh dunia. Karena itu, pengetahuan beliau tentang hadis semakin dalam
sehingga akhirnya ia menjadi pengibar panji-panji Sunnah di Mesir.
Babak berikutnya, pada tahun 1929, Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajr
Al-Islam yang mengulas masalah hadis dalam satu bahasan khusus (Bab VI Pasal
2). Kemudian, pada tahun 1353 H (1933 M), Ismail Adham mempublikasikan bukunya
tentang sejarah hadis. Ia berkesimpulan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam
kitab-kitab sahih (antara lain Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) tidak dapat
dipertanggungjawabkan sumbernya. Menurutnya, hadis-hadis itu secara umum
diragukan otentisitasnya.
·
Argumentasi
Ingkar As-Sunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, Ingkar As-Sunnah baik yang klasik maupun
yang modern memiliki argumen-argumen yang dijadikan pegangan oleh mereka. Tanpa
argumen-argumen itu, barangkali pemikiran itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Berikut ini akan dijelaskan argumen-argumen mereka dan sanggahan para ulama
hadis terhadap mereka.
1. Agama bersifat Konkret dan Pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti.
Apabila kita mengambil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak
pasti.
Al-Qur’an yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti. Sementara apabila agama Islam itu bersumber dari hadis, ia tidak akan
memiliki kepastian sebab keberadaan hadis khususnya hadis Ahad bersifat dhanni
(dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada peringkat pasti. Karena itu, apabila
agama Islam berlandaskan hadis di samping Al-Qur’an Islam akan bersifat
ketidakpatian.
Demikianlah, argumen pertama Ingkar As-Sunnah, baik yang klasik maupun yang
modern, seperti diungkapkan oleh Taufiq Sidqi (Mesir) dan Jam’iyah Ahl
Al-Qur’an (Pakistan).
2. Al-Qur’an Sudah Lengkap
Dalam syariat Islam, tidak ada dalil lain, kecuali
Al-Qur’an. Jika kita berpendapat
Al-Qur’an masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan
Al-Qur’an dan kedudukan Al-Qur’an yang membahas segala hal secara tuntas.
Padahal, ayat di atas membantah Al-Qur’an masih mengandung kekurangan.
Oleh karena itu, dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain,
kecuali Al-Qur’an. Argumen ini dipakai oleh Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
3. Al-Qur’an Tidak Memerlukan Penjelas
Al-Qur’an tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Qur’an
merupakan penjelasan terhadap segala hal. Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh
para pengingkar Sunnah, baik dulu maupun kini.
Mereka menganggap Al-Qur’an sudah cukup karena memberikan penjelasan
terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-orang yang menolak hadis secara
keseluruhan, seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
C. Kritik Orientalis
~ Kritik Orientalis
Dari lingkungan eksternal umat Islam,
terdapat problema pandangan negative berupa kritikan. Kritik tentang hadits
dilakukan dan datang dari orientalis, yakni sarjana-sarjana Barat yang
mengadakan kegiatan dengan mempelajari segala sesuatu mengenai negeri-negeri
Timur, tentang kebudayaan, keagamaan, dan peradaban dari bangsa-bangsa di
negeri Timur tersebut, termasuk di dalamnya atau terutama mengenai Islam,
pemikiran-pemikiran Islam dan peradabannya.
Adapun kritik-kritik
mereka tentang Hadits sebagai berikut:
1.
Beberapa orientalis
berpendapat bahwa sebagian besar Hadits adalah buatan orang Islam, bukan sabda
Nabi SAW Hadits yang betul-betul dari Nabi hanya sedikit sekali dan tidak
dijadikan hujjah yang mu’tammad di zaman permulaan Islam.
Ignace Goldziher mengatakan,
bahwa Hadits sebagian besar adalah hasil dari perkembangan politik dan
kemasyarakatan dalam abad I dan II Hijriyah.
2.
Mereka berpendapat pula,
bahwa hadits tidak dapat dijadikan dasar Tasyri’, hanya al-Qur’analah dasar
pembinaan hukum Islam. Hal ini karena Hadits tidak dapat diyakini keberadaannya
mengingat banyaknya perbedaan lafazh dan pertentangan satu sama lain.
Dengan berdalil pada ayat-ayat al-Qur’an:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
“Tidak kami sisakan
sedikit pun dari sesuatu di dalam kitab (al-Qur’an)” (Q.S. al-An’am: 38)
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah
yang menurunkan al-dzikr (al-Qur’an) dan Kami pula yang jadi penjaganya” (Q.S. al-Hijr: 9)
Mereka mengatakan bahwa sumber Syari’at Islam hanya al-Qur’an, hadits
bukan dasar Tasyri’, sebab Allah tidak memelihara kemurnian. Hadits sebagaimana
memelihara al-Qur’an. Buktinya banyak pemalsuan Hadits. Kalau Hadits juga dasar
Tasyri’ maka hadits mestinya terpelihara pula.
3.
Mereka menuduh, bahwa untuk
kepentingan golongan dan partai, umat Islam memalsu Hadits, seperti yang
dilakukan oleh Khalifah Bani Umayah untuk alasan dari praktek berkhutbah duduk
dan berkhutbah sebelum shalat hari raya, bahwa itu berdasarkan dari Hadits Nabi
SAW dan shahabat sudah pernah berkhutbah dengan cara duduk.
4.
Mereka mengatakan, bahwa
yang oleh islam dikatakan adil ternyata benar, sebab terbukti bahwa ada
sementara shahabat tidak adil. Yang disoroti adalah Abu Hurairah sebagai perawi
hadits ternyata seorang humoris, suka bersenda gurau dan membuat hadits untuk
kepentingan sendiri. Hal ini pernah Abu Hurairah memberi tambahan, dengan
kata-kata “atau anjing penjaga taman/kebun” pada hadits yang menerangkan bahwa
pahala seseorang tiap hari akan berkurang dua qirath apabila memelihara anjing,
selain anjing untuk berburu atau anjing penjaga binatang ternak. Dikatakan bahwa
penambahan ini oleh karena Abu Hurairah mempunyai sebidang tanaman/kebun.
Keragu-raguan juga dilontarkan kepada al-Zuhri sebagai pelopor
pentadwinan Hadits. Mereka mengatakan bahwa al-Zuhri memalsukan hadits untuk
kepentingan politik Bani Umayah.
5.
Meragukan kebenaran Hadits
yang terdapat pada kitab-kitab hadits. Karena pada masa Nabi, Hadits tidak
ditulis, begitu pula pada masa Khulafa al-rasyidin, dan baru ditulis pada awal
abad II Hijriyah. Hal ini menyebabkan orang mudah memalsukan Hadits, dan mereka
juga menduga bahwa pemalsuan hadits sudah terjadi sejak masa Nabi saw. Ahmad
Amin menerangkan, bahwa ada golongan yang memberanikan diri meletakkan
hadits-hadits yang dinisbahkan kepada rasul dengan jalan dusta, mungkin
pemalsuan hadits sudah terjadi semenjak rasul masi hidup
6.
Mereka menilai bahwa
sistematika tadwin hadits tidak baik dan tidak memenuhi persyaratan ilmiah
serta tidak memudahkan untuk penggunaannya. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh H.A.R. Gibb yang mengutarakan, bahwa baik al-Qur’an maupun Hadits tidak
memberikan kumpulan secara sistematis dalam peraturan hukum, akan tetapi hanya
memberikan bahan-bahan yang dapat dipakai untuk membangun system belaka.
7.
Mereka mengatakan bahwa
diwan secara keseluruhan tidak memuaskan, terbukti bahwa ulama Islam juga
banyak yang tidak menerima hadits sebagai hasil tadwin tersebut. Ahmad amin
memberikan bukti dengan menerangkan, bahwa dalam bidang fiqh tidak dijumpai
suatu perbedaan pendapat kecuali ada hadits-hadits yang menguatkan salah satu
pihak dan yang menguatkan pihak yang lain, sehingga dalam madzhab Hanafi yang
terkenal sebagai madzhab yang tidak mau mempergunakan hadits kecuali sedikit
(menurut ibn Khaldun hanya 17 buah saja) dengan Hadits-hadits yang
kadang-kadang menyerupai style fiqh.
Terhadap kritik-kritik di
atas, ulama-ulama islam telah memberikan respon, yakni dengan menangkis
serangan tersebut setelah mengadakan analisis, penelitian dan pembahasan.
Respon tersebut ada yang dikemukakan secara spontan, ada yang dengan menulisi kitab, dan ada pula dengan bentuk
gerakan-gerakan penentangan dan penanggulangan, baik yang bersifat represif
maupun preventif.
Adapun jawaban terhadap kritik di atas adalah sebagai berikut:
1.
Sejak permulaan Islam,
hadits adalah dasar syari’at Islam yang menjadi pedoman pengamalan agama bagi
umat Islam dan telah menjadi darah daging umat Islam sebab selalu dihafal,
dimengerti dan diamalkan dengan penuh ketaatan. Kemudian selanjutnya diajarkan
dan disebarkan kepada generasi berikutnya dengan periwayatan yang berpedoman kepada
keshahihan sanad dan kebenaran matan. Akhirnya, juga berhasil dihimpun dalam
kitab-kitab hadits yang penyelenggaraannya menurut peraturan dan adab yang
menjamin kemurnian hadits tersebut. Dengan demikian, hadits bukanlah sekedar
natijah dari proses perkembangan agama, politik dan kemasyarakatan islam di
abad I dan II H. melaikan ajaran Nabi SAW yang berupa perkataan, perbuatan dan
taqrir yang beliau sunnahkan untuk melengkapi maksud wahyu illahi (al-Qur’an).
2.
Hadits mutawatir
memfaidahkan yakin, terhadap hadits shahih dan hasan, jumhur ulama menetapkan
sebagai hujjah. Setiap hadits sesudah jelas derajat dan nilainya, tertera atau
dapat dipahami dari diwan-diwan hadits. Dengan demikian, tidak sewajarnya untuk
tidak menerima hadits sebagai dasar tasyri’. Hadits berfungsi sebagai
interpretasi al-Qur’an tentang ke umumannya, kemujmalnya, kemutlaqannya dan
kemusykilannya. Hadits tidak bisa dipisahkan dari al-Qur’an berlaku tetap dalam
kebulatannya sebagai pedoman pelaksanaan agama Islam.
Tentang firman Allah surat al-An’am ayat 38, khususnya penafsiran
tentang lafazh; “al-kitab”, tafsir al-Qur’an departemen Agama RI menjelaskan: sebagian
mufassirin menafsirkan al-kitab itu dengan Lauh al-Mahfuzd dengan arti bahwa
nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauh al-Mahfuzd.
Dan ada pula yang menafsirkannya dengan al-Qur’an, dengan arti; dalam al-Qur’an
telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan
pimpinan untuk kebahagiaan manusia dunia akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada
umumnya”.
Tentang firman Allah pada surat al-Hijr ayat 9, menurut T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, maksud kata; “al-Dzikr” disana adalah mencakup al-Qur’an dan
Hadits, karena yang dimaksud adalah Syara’ dan Agama, sedang syara’ dan agama
terhimpun dalam al-Qur’an dan Hadits, sesuai dengan pemahaman dari kata;
“al-Dzikr” dalam ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Jadi, “ahl al-Dzikr” adalah “ahl al-‘ilm bi Din Allah wa Syari’atihi”,
yang terhimpun dalam al-Qur’an dan Hadits.
3.
Dari adanya pertentangan
politik, betul telah menimbulkan pemalsuan hadits, namun yang membuat
hadits-hadits palsu tersebut bukanlah ulama-ulama hadits, bukan pula muslim
yang taqwa, akan tetapi mereka yang lemah imannya yang lebih mementingkan
kepentingan golongan sendiri dengan merugikan agama. Oknum-oknumnya ialah orang
munafik, zindik yang tidak ikhlas beragama Islam dan mau menyeret Islam kepada
kehancuran. Pendakwaan bahwa pemalsuan Hadits meluas pada bidang ibadah, maka
hal ini memang kaum zindiq memalsukan hadits di berbagai bidang; akidah,
ibadah, imamah dan jama’ah.
Adapun tentang tunduhan bahwa khalifah bani umayah merubah cara ibadah
(khutbah Jum’at dan Hari raya) dengan membiuat-buat Hadits, maka para ulama
telah membahasnya pula. Perbuatan mu’awiyah membikin pagar tempat shalatnya,
dan berkhutbah sambil duduk karena badan gemuk dan Marwan berkhutbah pada hari
Raya sebelum shalat, karena terbiasa orang-orang pulang setelah melakukan
shalat tersebut selagi imam berkhutbah, semuanya itu bukanlah pemalsuan Hadits,
tapi ijtihad mereka dikala itu dengan adanya perubahan sikap pada masyarakat.
4.
Bahwa sasaran kritik
orientalis tentang perawi hadits kepada Abu Hurairah dan al-Zuhri adalah dapat
dimaklumi, sebab justru dua tokoh itulah pemuka Hadits. Abu Hurairah adalah
perawi terbanyak dan al-Zuhri pelopor tadwin hadits. Harapan mereka, bila umat
bisa percaya pada informasi mereka tentang kecacatan kedua tokoh tersebut, maka
akan hilanglah kepercayaan kepada semua ulama hadits yang lain dan lemah
pulalah hadits karenanya. Dari kitab biografi yang mu’tabar dan dari kitab Jarh
wa al-Ta’dil, kita dapat mengetahui hal ihwal Abu Hurairah yang sebenarnya.
Beliau adalah muslim mutaqqin, semasa hidup Nabi SAW sejak ia masuk Islam
selalu menyertai Nabi, semangat periwayatannya sama sekali bukan mencari
kemegahan dan untuk bermudah-mudah, tetapi karena ketaqwaannya, juga dalam
rangka mentabliqkan amanat, mentaati nawahi Nabi SAW tentang menyembunyikan
ilmu. Abu Hurairah sendiri sudah menjelaskan tentang periwayatan Hadits, bahwa
andaikata tidak ada ayat yang mengancam orang yang menyembunyikan ilmu maka ia
tidak akan meriwayatkan apa-apa. Abu Hurairah berkata:
Tentang hadits memelihara anjing, maka dapat dijelaskan bahwa hadits
Abu Hurairah tidak menyendiri, tetapi banyak
riwayat melalui sanad yang lain.
Mengenai al-Zuhri yang oleh orientalis dituduh memalsu hadits, oleh
ulama-ulama Jarh wa al-Ta’dil telah diteliti dengan seksama dan ternyata ia
termasuk ulama yang wara’ dari kalangan shahabat Nabi kuat hafalan dan termasuk
ulama yang terkemuka.
5.
Umat Islam masa Nabi SAW
selalu berusaha mendapatkan hadits (pengajaran) dari Nabi SAW yang jauh tempat
tinggalnya berusaha bergiliran mendatangi nabi SAW agar mendapat pelajaran.
Hadits-hadits tersebut mereka amalkan dan dipelihara dalam hafalan, kemudian
disebarkan dalam rangka menghindari sabda Nabi SAW:
نضرالله امرا سمع منا حديشا فحفضه حئ ىبلغه
فرب حامل فقه ال من هو فاقه منه ورب حامل فقه ليس بفقيه
Penulisan hadits sudah
dimulai sejak masa Nabi SAW dan diperluas di masa shahabat dan tabi’in,
pembukuan (tadwin) secara resmi diadakan sekitar tahun 80 Hijriyah. Dan
resminya pentadwinan secara menyeluruh dimulai tahun 100 H. sedangkan pemalsuan
Hadits di masa Nabi, hal itu tidak mustahil, namun pada waktu itu pula sudah ada
penyelesaian karena wahyu masih sedang diturunkan.
6.
Kami berpendapat bahwa
sistematika penulisan hadits pada diwan-diwan hadits pada taraf terakhir, sudah
memadai dan baik, penyelenggaraannya memenuh syarat ilmiah. Dengan dilengkapi
kitab petunjuk, kitab syarh, kitab mukhtashar, dan kitab fiqh (‘ulum)
al-hadits, maka kitab-kitab hadits memenuhi hajat dan kebutuhan umat dalam
rangka mencari dalil hukum Syari’at. Islam memiliki kitab hadits dengan
sistematika fiqh yang memiliki pula kitab fiqhm, tauhid dan Tasawuf yang
lengkap dengan dalil-dalil dan hadits.
7.
Adalah tidak benar jika
madzhab Hanafi tidak menggunakan hadits sebagai dasar Tasyri’, sebab
bertentangan dengan kenyataan. Hal itu kitab-kitab fiqh madzhab hanafi bisa
menjadi saksi, rutbah dasar tasyri’ menurut Abu Hanafi adalah: Kitab, Sunnah,
Ijma’, Qiyas dan Is-tihsan.
Mengenai tulisan ibn Khaldun
dalam Muqaddimahnya, bahwa Abu Hanifah hanya mempergunakan 17 Hadits, hal itu
adalah suatu kekhilafan. Dan kekhilafan ini sudah diralat oleh al-‘Alamah Muhammad
Zahid al-Kautsari sebagai tertera pada kitab Ta’liq Syuruth al-Khamsah,
karangan al-Hazimi. Menurut beliau, bahwa perkataan ibn Khaldun itu sebagai
suatu hal yang khilaf, karena menurut kenyataan Abu Hanifah yang sangat ketat
(keras) itu bukan meriwayatkan 17 Hadits tetapi 17 kitab, yang paling kecil
adalah kitab Abu Hanifah yang diriwayatkan oleh al-Thabawi.
Dari uraian di atas, dan dari hamparan
sejarah, dapat diketahui bahwa pandangan orientalis tentang hadits itu dapat
dikualifikasikan antara yang sangat negative, agak negative, yang sedikit
positif dan yang obyektif positif.
Pandangan orientalis tersebut antara lain
tercermin dari uraian dan pembahasan Prof. M. M. Azmi dalam disertasinya yang
berjudul: Studies in Early Hadith Literation.
Orientalis Ignace Goldziher dan banyak
orientalis lain sebelumnya, termasuk yang berpandangan negative tentang Hadits
sebagaimana telah diungkapkan pada uraian di atas. Mereka berpendapat, bahwa
Hadits itu buatan kaum muslimin yang hidup pada abad II dan III Hijriyah, yang
dibenarkan berasal dari masa hidup Nabi SAW hanyalah al-Qur’an. Alasannya
antara lain bahwa masyarakat Islam sebelum abad II Hijriyah belum memiliki
kemampuan memahami dogma keagamaan, memelihara ritus dan mengembangkan doktrin
yang kompleks. Alasan lain adalah karena langkahnya peninggalan tertulis dari
Hadits yang diriwayatkan generasi ke generasi.
M.M. Azmi membahas, bahwa pandangan itu tidak
tepat, karena sebenarnya masyarakat Islam sebelum abad II Hijriyah sudah maju,
baik di bidang pendidikan, budaya, politik dan perekonomian. Tentang langkanya
tulisan Hadits, Azmi menejlaskan bahwa banyak sekali koleksi hadits, pada masa
shahabat dan masa tabi’in dan al-Zuhri mengoleksi hadits dalam kitab hadits itu
bukan hanya dari hafalan rawi, namun juga dari tulisan dan koleksi sebelumnya.
Orientalis setelah Goldziher yang
berpandangan negative dalam versi yang berbeda adalah Joseph Schacht. Ia
berpendapat bahwa keontetikan sanad dan isnad diragukan. Isnad itu karangan
yang dimulai pada masa perang, tidak dari masa Nabi dan bersifat praduga, teks
hadits dibuat lebih dulu, baru kemudian sanadnya, juga terdapat penyimpangan
dalam jalur sanad, diadakan perubahan teks Hadits, dan hadits dibuat demi
kepentingan golongan. Pandangan Schacht tentang hadits itu disebut teori
proyeksi, yang menyimpulkan tentang kepalsuan hadits. Karena orientalis hadits
tidak dapat diyakini, dan pengungkapan, pemeliharaan dan penyampaian hadits
hanyalah permainan.
M.M. Azmi menganalisis dan menjawab pandanagn
Schacht antara lain:
1.
Pandangan Schacht
berdasarkan pada hadits hukum, hal itu tidak cukup menunjang teorinya, sebab
hadits hukum hanya bagian kecil, dan kitab fiqh memuat hadits yang bersanad
tidak lengkap.
2.
Schacht keliru dalam
menetapkan biografi rawi hadits sehingga menganggap sanad itu terputus, juga
tidak jelas menetapkan peperangan sebagai awal sanad hadits.
3.
Schacht tidak memahami
proses periwayatan sebelum al-Zuhri yang sebenarnya telah banyak
tulisan-tulisan hadits, baik di kalangan tabi’in, masa shahabat bahkan sejak
masa nabi SAW.
4.
Pemeliharaan hadits sebelum
ditadwin meyakinkan, antara lain dengan mantapnya penerimaan dan penyampaian
hadits, kegiatan pengajaran, kegiatan menghafal, menulis dan membukukan hadits.
M.M. Azmi melengkapi analisisnya dengan data
tentang periwayatan hadits secara lengkap dan akurat, serta mengungkapkan
naskah masa awal, seperti naskah Suhail ibn Abi Salih, ‘Ubaidillah ibn ‘Umar
dan ‘Ali al-Yaman.
Selanjutnya M.M. Azmi mengutarakan pendapat
orientalis lain yakni Robson, yang justru menentang teori proyeksi Schacht di
satu sisi, namun memuji Schacht dalam aspek tertentu. Robson berpendapat, bahwa
keontetikan sanad tidak diragukan, karena pertentangan masa abad pertama
Hijriyah, umat Islam menerima isnad dan tidak bertemu Nabi SAW melakukan
penelitian tentang Hadits. Walaupun isnad itu rumit, namun banyak informasi
tentang orang-orang yang menjadi rawi dalam isnad, hal ini menjadi warisan masa
silam yang diteruskan pada masa sesudah al-Zuhri, bahkan al-Zuhri mendapat
sanad yang tertulis sebelumnya.
Robson berpendapat dengan Schacht tentang
peristiwa fitnah yang menimbulkan pemalsuan hadits, dan tentang penilaian
perkembangan hadits. Begitu pula Robson mempunyai pendapat yang kurang tepat
dalam hal menyebutkan riwayat hidup nabi saw sebagai sumber penelitian hadits
itu sendiri dan tafsir al-Qur’an.
Dengan pembahasan M.M. Azmi tersebut, maka
dapat diketahui bahwa periwayatan hadits secara tertulis sudah terjadi sejak
abad I Hijriyah, al-Zuhri mengumpulkan hadits dari teks-teks hadits yang
ditulis sejak masa nabi SAW dengan bukti-bukti kongkrit dari naskah lama
(manuskrip) hadits tersebut.
Umat Islam mesti berhati-hati dalam memahami
tulisan dan pendapat orientalis tentang hadits, dan melakukan pengkajian secara
seksama agar dapat menghindarkan kesalahan dalam berdalil dan menggunakan serta
meletakkan hadits sesuai dengan proporsi yang benar.
Leopold Weiss, seorang mantan orientalis
Austria yang telah menganut agama Islam dan kemudian menjadi warga negara
Pakistan dan dikenal dengan nama Muhammad Asad, di dalam bukunya “Islam
Dipersimpangan Jalan”, memberikan ilustrasi mengenai Islam dalam pandangan
Barat, katanya, Islam adalah tertuduh dan bersalah, yang diadili oleh
hakim-hakim orientalis.
Jika penjajah melakukan pendudukan terhadap
Negara-negara Timur dan Islam, maka orientalis-orientalis dengan propagandisnya
bertindak secara illegal memutarbalikkan ajaran Islam, merongsong al-Qur’an
begitu pula Hadits Nabi. Karena dengan cara demikian menurut mereka, Islam akan
hancur, luar dan dalam sebab akan menimbulkan kekeliruan yang berakibat salah dalam
mengambil suatu keputusan hukum (ilmiah).
Jika air di hulu sudah keruh, maka ke hilir
pun akan keruh pula. Jika sumber tempat berpijak sudah tidak benar, sebagaimana
yang diperhunakan orientalis dan pengagum-pengagumnya yang ada di kalangan
muslim yang menilai terhadap hadits nabi, maka tidak benar pula penglihatan dan
pandangan serta konklusi yang dihasilkannya.
Pernyataan Muhammad Asad di atas, jelas
sekali bahwa titik pijak kaum orientalis dalam mengkaji hadits khususnya atau
umumnya kajian keislaman, bukan saja ditunggangi kepentingan politik tetapi
juga propaganda keagamaan mereka yang hendak disusupkan ke dalam kajian
keagamaan Islam. Tentu saja hasilnya pun sudah dapat diduga, sebagaimana
pernyatan mantan orientalis di atas, bahwa mereka hendak merongrong ajaran
Islam, khususnya hadits.
Di pihak lain, mereka menerapkan kebiasaan
ilmiah (pure ilmiah) yang bertolak dari “keraguan” dan “menghasilkan” sesuatu
untuk menemukan “kebenaran” ilmiah. Sehingga statemen-statemen mereka dirasakan
sering merugikan daripada menguntungkan umat Islam . Karena mereka tidak
mempunyai ikatan batin sama sekali dengan Islam, apalagi bila dibarengi dengan
tujuan negative seperti digambarkan di atas. Hal ini tentu saja berbeda dengan
sarjana muslim yang melakukan kajian terhadap term-term keagamaan islam itu,
bukan saja berpijak pada tuntutan ilmiah, melainkan juga didasari oleh titik
tolah imani dengan nuansa jiwa tersendiri. Sehingga tanggung jawab moral dan
ilmiah menyatu dalam dirinya.
Sikap hati-hati bagi umat Islam terhadap
pandangan orientalis , barangkali merupakan sikap terbaik, agar tidak terjebak
dengan pengatasnamaan ilmiah seperti yang dikibarkan oleh mereka, padahal
sesungguhnya melemahkan sendi-sendi ajaran Islam yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi, yang
dimaksud dengan Perkembangan Hadits sebagai dasar Tasyri’ adalah menetapkan ketentuan syari’at islam atau hukum Islam. Hukum
Islam adalah firman syari’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,
yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai
syarat adanya yang lain.
Sebab sampai
terjadinya Pemalsuan Hadits itu salah satunya dikarenakan banyak orang pada
masa itu yang mengubahnya untuk kepentingan politik mereka.
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap
penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka
membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan
tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Dari lingkungan
eksternal umat Islam, terdapat problema pandangan negative berupa kritikan.
Kritik tentang hadits dilakukan dan datang dari orientalis, yakni
sarjana-sarjana Barat yang mengadakan kegiatan dengan mempelajari segala
sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, tentang kebudayaan, keagamaan, dan
peradaban dari bangsa-bangsa di negeri Timur tersebut, termasuk di dalamnya
atau terutama mengenai Islam, pemikiran-pemikiran Islam dan peradabannya.
DAFTAR PUSTAKA
Soetari, Endang. 2008. Ilmu Hadits, Mimbar Pustaka : Bandung
Suryadi, Agus. Solahudin, Agus, 2008. Ulumul
Hadits, Pustaka
Setia: Bandung
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadits, Rajawali Press: Jakarta
*Beberapa referensi buku diatas bisa teman-teman baca lebih lanjut juga, barangkali ada kesalahan dari yang sudah saya kutip, Mohon dimaafkan, Terima Kasih.
~ SEMOGA BERMANFAAT ~
Comments
Post a Comment